Rabu, Mei 05, 2010

Sudah Saatnya PDAM Diswastakan

Keluhan masyarakat tentang pelayanan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) tidak pernah reda, bahkan dari hari ke hari terus meningkat. Hal ini tidak lain karena masyarakat memang sangat membutuhkan air, terutama untuk kebutuhan konsumsi dan cucian. Selama ini hanya PDAM yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut, artinya tidak ada pilihan lain bagi warga.

Sayangnya, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap air tersebut tidak mampu dilayani oleh pemerintah. Penyebabnya bisa bermacam-macam, mulai dari persoalan manajemen, sumber daya manusia, hingga permodalan yang tidak seimbang. Akibatnya, masyarakat tetap saja tidak bisa nyaman untuk dapat menikmati ketersediaan air dalam tempo yang lama.

Buktinya, seperti yang dialami warga Lambaro Skep, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Mereka benar-benar kesal terhadap pelayanan perusahaan daerah itu. Pasalnya, sudah hampir seminggu suplai air bersih ke kawasan itu, macet total. Namun, hingga Jumat pekan lalu, belum ada upaya penanganan dari pihak terkait.

Seperti diutarakan warga Dusun Diwai Makan, Jafar dan Saiful kepada Serambi (edisi Jumat (2/4)), suplai air PDAM ke kawasan itu sudah terganggu sejak lima hari lalu, persisnya sejak Minggu (28/3). Warga mengira, hal itu hanya gangguan sesaat seperti yang biasa terjadi. Ternyata, hingga Senin (29/3), suplai air belum juga normal.

Akibatnya, sejak air PDAM macet, masyarakat di desa tersebut terpaksa membeli air bersih yang dibawa dengan mobil tanki. Jafar dan Saiful menyebutkan, sebagaian warga berpatungan untuk membeli air bersih dengan harga Rp 120 ribu per tanki (ukuran 4.000 liter). Satu tanki bisa digunakan untuk tiga sampai empat rumah.

Sebagian warga lainnya, juga membeli air bersih yang dijual per jeriken yang juga dibawa dengan mobil. Harganya Rp 2.000 per jeriken. Namun, warga desa tersebut merasa dirugikan dengan kondisi itu. Pasalnya, mereka harus mengeluarkan uang untuk membeli air bersih. Sementara setiap bulan, warga juga harus membayar iuran rutin ke PDAM.

Persoalan serupa sebenarnya bukan hanya dialami warga Lambaro Skep. Tetapi, kondisi itu sudah menjadi pemandangan rutin bagi warga Banda Aceh, terutama yang berada di kawasan Kampung Pineueng, Peurada, Jeulingke, Kampung Jawa, Lampulo, dan lain-lain. Warga setempat bahkan sudah lelah untuk melaporkan kondisi tersebut ke PDAM Tirta Daroy Banda Aceh.

Masalahnya, bukan PDAM Tirta Daroy tidak tanggap atau kurang peduli terhadap keluhan warganya. Tetapi, PDAM memang tidak mampu memenuhi harapan warga, yang tentu saja disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya adalah keterbatasan sumber daya manusia, manajemen, dan juga permodalan.

Untuk itu, kita menilai sudah saatnya Pemko Banda Aceh menyerahkan pengelolaan PDAM Tirta Daroy kepada pihak swasta. Sebab, manajemen swasta tentu saja berbeda dengan manajemen pemerintah. Swasta lebih mandiri dan profesional, sementara pemerintah lebih banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Misalnya saja, titip menitip karyawan yang sama sekali tidak punya keterampilan untuk mengelola PDAM. Akhirnya mereka menjadi beban perusahaan yang terus menerus sepanjang tahun!
(Serambi Indonesia, 05/05/2010)