Minggu, Februari 28, 2010

Bisa Menyulitkan Pengolahan Air Baku PDAM

Sungai di Banda Aceh Tercemar

BANDA ACEH - Tiga sungai di Banda Aceh, Krueng Aceh, Krueng Daroy, dan Krueng Doy tercemar limbah domestik MCK (mandi cuci kakus) dan home industry. Berdasarkan hasil penelitian tahun 2007, ketiga sungai tersebut mengandung amoniak, posphat, dan DO (Dissolved Oxygen) di ambang batas atau sudah pada tingkat membahayakan.

Informasi itu disampaikan Kepala Kantor Lingkungan Hidup Banda Aceh, Iskandar MSi didampingi Kepala Seksi Amdal, Cut Safarina Yulianti MT, kepada Serambi, Sabtu (27/2). “Jika kondisi itu dibiarkan, akan menyulitkan pengolahan air PDAM,” kata Iskandar. Iskandar mencontohkan, posphat akan sulit diendapkan flokulan. Sedangkan mikroba-mikroba nitrifikasi yang sangat halus dan mencerna amoniak menjadi nitrit. Sementara nitrit juga menyulitkan pengendapan, sehingga menurutnya membutuhkan biaya besar untuk diolah hingga normal seperti semula.

Berdasarkan penelitian sampling air Krueng Aceh pada Bendungan Karet Lambaro, Jembatan Surabaya, dan Jembatan Peunayong, kandungan amoniak (N-NH3) tercatat 0,18 mg/L, posphat (PO4-P) t5,75 mg/L, dan DO 7,54 mg/L. Sementara pengambilan sampling air di Krueng Daroy (Jembatan Keutapang dan Jembatan Putro Phang), kandungan amoniaknya 0,24 mg/L, posphat 0,21 mg/L, dan DO 7,31 mg/L. Sedangkan sampling yang dilakukan di Krueng Doy (Jembatan Punge dan Jembatan Seutui), tercatat kandungan amoniak seberat 1,20 mg/L, posphat 0,31 mg/L, dan DO 7,03 mg/L.

Menurut Iskandar, standar baku mutu sesuai PP Nomor 82 Tahun 2001 untuk kelas dua itu amoniak yang normal minus (-) mg/L, posphat 0,2 mg/L, dan DO 4 mg/L. Setelah dilakukan penelitian itu, pada 2008 Kantor Lingkungan Hidup bekerja sama dengan GTZ-SLGRS dari Jerman melakukan tindakan pencegahan dengan mendirikan satu unit IPAL limbah industri tahu yang menggunakan sistem biofuel. Namun kurang dapat dukungan dari pemilik usaha tersebut karena ketidaktahuan mereka.

Kepala Seksi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) pada Kantor Lingkungan Hidup Banda Aceh, Cut Safarina menambahkan, setelah kerja sama itu tindakan yang dilakukan pihaknya yaitu melakukan pengecekan dengan kasat mata, visualisasi secara rutin dengan melakukan pemotretan sebagai bukti.

“Karena kurangnya dana, maka kita melihat kasat mata kekeruhan air sungai, warnanya yang hitam, serta rasanya yang berbeda. Setelah itu baru kita visualisasikan. Karena hanya sebatas itu yang mampu kita lakukan,” ucapnya. Akibat pencemaran, lanjut Cut Safarina, air tidak terasa enak, menurunkan oksigen terlarut, dan populasi ikan kurang sehat. Sementara jika nitrogen berlebihan bisa menyebabkan ganggang tumbuh subur.

“Nitrit amat beracun dalam air namun tak tahan lama. Air kandungan nitrat berbahaya untuk diminum sebab berubah jadi nitrit dalam perut, jika keracunan maka muka akan menjadi biru dan bisa menyebabkan kematian,” katanya. Iskandar menegaskan, solusi yang perlu dilakukan semua stakeholder adalah tidak membuang limbah, sampah, dan memotong pohon, serta mengurangi emisi karbon atau dampak rumah kaca. Sebab, katanya, masyarakat juga merupakan bagian dari lingkungan sehingga pihaknya siap mensosialisasikan tentang pengolahan limbah jika diminta. (c47-SerambiNews)

Rabu, Februari 24, 2010

Tiga Kecamatan di Aceh Tengah Krisis Air Bersih

Aceh Tengah
TAKENGON - Sepanjang dua tahun terakhir, tiga kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah, masing-masing Kecamatan Kebayakan, Lut Tawar, dan Kecamatan Bebesen, serta sebagian Kota Takengon, mengalami krisis air bersih. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Tawar sebagai lembaga penyedia air bersih di bawah Pemkab Aceh Tengah tidak mampu memasok air bersih ke pelanggan, sehingga krisis air bersih terus berlarut-larut.

Seorang warga Kampung Tetunjung, Kecamatan Lut Tawar, Ifan, Selasa (23/2) mengatakan, pemerintah harus bertanggungjawab terhadap ketersediaan air bersih bagi masyarakatnya, karena air merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap warga. Dikatakan Ifan, pemerintah secepatnya mencari solusi agar krisis air tidak berpenjangan. Di dataran tinggi seperti Takengon, katanya, banyak sumber air bersih yang dapat diambil langsung tanpa proses pengolahan.

Ia juga meminta proses pembangunan bak penampungan air yang sedang dibangun Bur Mak Pendi, Oregon, Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan Aceh Tengah dapat diteruskan sehingga dapat memasok air bersih ke pelanggan-pelanggan yang membutuhkan air bersih. Selama ini, sebut Ifan, banyak sumber mata air yang dapat digunakan sebagai sumber pasokan air, namun belum mampu menanggulangi krisis air bersih seputaran Kota Takengon. “Saya meminta pemerintah segera memfungsikan bak penampungan dan pengolahan air di Bur Mak Pendi, Kampung Mendale,” ujar Ifan.

Dikatakan Ifan, keberadaan bak penampungan air di Bur Mak Pendi Kampung Mendale itu tidak membahayakan penduduk sekitar, karena air yang masuk kemudian dikeluarkan kembali tanpa diendapkan berlama-lama di dalam bak tampung itu. Sementara, kondisi tanah dan bebatuan di sekitar lokasi sangat kuat dan tidak ada pemukiman penduduk yang berdekatan dengan bangunan tersebut.

Imum Mukim Kebayakan Agus Salim (55) mengaku bahwa saat ini konsisi air bersih di wilayah perkotaan yang meliputi tiga kecamatan telah diambang krisis, air sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. Terlepas dari ada tidaknya dokumen lingkungan sejenisnya terhadap pembangunan Intake bak tampung air di Bur Mak Pendi, Agussalim mengharapkan kepada pemrakarsa proyek untuk mengadakan pendekatan serta sosialisasi kepada masyarakat sekitar, sehingga tidak terjadi penolakan oleh satu pihak.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Kebersihan dan Pertamanan (BLHKP) Aceh Tengah Drs Fakhruddin mengatakan, sesuai Peraturan Menteri Negara (Permen) Lingkungan Hidup Nomor 11 tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Amdal, maka proyek pembangunan Bak Tampung di Mendale tidak memerlukan dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Dalam aturan itu disebutkan, dokumen Amdal diperlukan, apabila debit pengambilan air mencapai 250 liter per detik atau setara kebutuhan pelayanan 250 ribu orang, sementara pembangunan bak penampungan air di Bur Mak Pendi, Kawasan Oregon, kampung Mendale hanya 50 liter per detik. Meskipun begitu, katanya, Pemkab Aceh Tengah sedang mengurus dokumen lingkungan yakni Upaya Kelola Lingkungan (UKL) dan Upaya Pamantauan Lingkungan (UPL) sebagai syarat proyek skala kecil.

Ia juga meminta semua komponen masyarakat memahami fungsi bak penampungan air di Oregon Mendale, sebagai salah satu solusi untuk mengatasi krisis air bersih bagi warga masysrakat di tiga kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah yakni Kecamatan Kebayakan, Bebesen dan Kecamatan Lut Tawar. Dia juga mengharapkan agar warga masyarakat yang masih meragukan kondisi bangunan PDAM Tirta Tawar di Bur Mak Pendi dapat menanyakan langsung pada instansi teknik yang memahami struktur bangunan. “Pemerintah telah melakukan kajian yang mendalam, baik teknis maupun struktur bangunan yang aman dan ramah lingkungan, jadi bukan serampangan,” tandas Fakhruddin.(min-Serambi Indonesia)

Minggu, Februari 21, 2010

MUSYAWARAH TUKANG LEIDENG SE-ACEH

Para pimpinan tukang leideng se-Aceh atau dengan bahasa keren-nya para Direktur PDAM Aceh yg berhimpun dalam satu wadah organisasi Perpamsi (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia) Daerah Aceh, pada tanggal 12 s/d 13 Februari 2010 berlokasi di ruang meting hotel Danau Toba, Medan, melaksanakan Musyawarah Perusahaan Air Minum Daerah (Mapamda) Aceh empat tahunan dalam rangka pemilihan kepengurusan DPD Perpamsi Aceh priode tahun 2010 - 2014.

Dari sembilan belas PDAM seluruh Aceh yang terdaftar dalam wadah organisasi Perpamsi Aceh tersebut, hampir seluruh utusan hadir mengikuti rapat empat tahunan ini kecuali 2 utusan yg berhalangan hadir yakni PDAM Aceh Jaya, Calang (Syamsul Bahri, SE) dan PDAM Tirta Tawar, Takengon (Bukhari, SE).

Ke 17 utusan tersebut terdiri dari 15 direktur/kepala yakni Husaini, ST (PDAM Tirta Aneuk Laot, Sabang), Junaidi, SSos (PDAM Tirta Daroy, Banda Aceh), T.Novizal Aiyub, SE Ak (PDAM Tirta Montala, Jantho), Drs. Asmadi Ajis (PDAM Tirta Monbaro, Sigli), Isfadli Yahya, SE (PDAM Kr.Peusangan, Bireun), Ir. Faisal S (PDAM Tirta Peusada, Idi), Marzuki (PDAM Tirta Keumuneng, Langsa), Suheiri (PDAM Tirta Tamiang, Kuala Simpang), Chairuman, SE (PDAM Tirta Meulaboh, Aceh Barat), Sakdah, ST (PDAM Tirta Naga, Tapak Tuan), Ir. Azwan Azis (PDAM Tirta Singkil), Arizal Agusnar, SE (PDAM Tirta Sejuk, Blang Kejeren), Ir. Mansyur Komaruddin (BPAM Bener Meriah), Ir. Khairul Anwar (PDAM Agara Kutacane) dan Ir. Rasmal Kahar (PDAM Tirta Fulawan Simeulue). Sedangkan 2 orang lagi adalah Ulil Amri, ST Kepala Bagian Teknik BPAM (Badan Pengelola Air Minum) Pidie Jaya dan Zulfikar, SE Kabag SDM PDAM Tirta Mon Pase Lhokseumawe selaku utusan mandat mewakili direktur masing-masing. Selain peserta inti tersebut diatas, acara ini juga dihadiri oleh beberapa personil unsur panitia pemilihan serta Bendahari DPD priode lalu (Dra. Rosmala). Musyawarah yg sangat bersejarah untuk kesekian kali ini, juga dihadiri tamu undangan dari beberapa perusahan yg bergerak di bidang industri perpipaan/asesoris air minum khususnya wilayah distributor Medan & Aceh.

Pemilihan berjalan mulus dan lancar --tanpa bersitegang urat leher laiknya seperti terjadi pada beberapa pemilihan kepengurusan lainnya/ormas/orpol-- dengan melakukan voting terhadap 2 kandidat calon ketua yakni Junaidi, SSos direktur PDAM Tirta Daroy Banda Aceh serta incumbent Teuku Novizal Aiyub, SE,Ak direktur PDAM Tirta Montala, Jantho. Hasil yang diperoleh hampir 90% (15 suara) memilih kembali T.Novizal Aiyub, SE Ak untuk menakhodai kepengurusan Perpamsi Daerah Aceh priode 2010 s/d 2014.

Kemenangan Teuku Novizal Aiyub --yg akrab dipanggil Ampoen Ayub ini-- memang sudah diduga jauh-jauh hari, dikarenakan sosok kepemimpinannya yg egaliter dan sangat terbuka baik secara internal maupun eksternal dalam menjalankan biduk kepengurusan selama ini, dimana seperti diketahui bersama bahwa keberhasilan beliau selaku direktur PDAM Tirta Montala, Jantho di Kabupaten Aceh Besar adalah menjadikan perusahaan yg dipimpinnya --yg semula oleh auditor publik diklasifikasikan perusahaan sakit-- kini dikategorikan 'sangat sehat' dibanding PDAM-PDAM lainnya di provinsi Aceh --dengan pendapatan penghasilan netto 700 jt rupiah perbulan-- serta adanya nilai plus lainnya pada diri beliau yakni penguasaan bahasa asing diatas rata-rata dari para direktur lainnya, sehingga memudahkan organisasi dalam meraih peluang kerjasama dengan investor lokal/asing. Hal ini tergambar jelas ketika Ampoen Ayub dalam pidatonya yang gamblang dan berapi-api --setelah terpilih kembali-- menekankan dan menghimbau pada seluruh anggota Perpamsi Aceh agar mengurangi ketergantungan PDAM dari bantuan APBD maupun APBN walaupun bantuan itu sifatnya sharing penyertaan modal yang ujung-ujungnya nanti bisa berakibat keterikatan dan ketidak mandirian PDAM itu sendiri, ditekankan lagi oleh beliau bahwa selayaknya PDAM haruslah dijalankan secara mandiri dan professional serta bijak menjalankan bisnis layanan air minum pada masyarakat Aceh khususnya yg sebahagian besar rata-rata dibawah garis kemiskinan. Salah satu cara untuk pemberdayaan itu adalah melaksanakan disiplin anggaran serta mengajak kerja sama saling menguntungkan dengan pihak investor lokal maupun asing lainnya.

Dalam acara musyawarah pemilihan kepengurusan tersebut --yg dilaksanakan selama dua hari di room meeting Hotel Danau Toba Medan--, juga diselingi dengan presentase peralatan asesoris water-meter yang dilakukan oleh salah satu agen distributor peralatan air minum yang berdomisili di Medan, PT.Jasari. Salah satu peralatan anyar --khususnya asesoris air minum-- yang diperkenalkan atau dipromosikan adalah alat sensor bench mark buatan negara tetangga Malaysia yang berguna untuk memeriksa ke-akuratan alat water-meter apakah masih berfungsi atau telah rusak, sehingga dengan menggunakan peralatan pengukur tersebut maka alat water-meter yg mengalami kerusakan dapat dilakukan kalibrasi kembali atau diganti total. Peralatan lainnya yg di-promokan adalah suatu perlengkapan lapangan untuk perbaikan kebocoran --instant (tinggal pakai)-- terutama pada pipa induk/distribusi yg pada umumnya pipa-pipa yg mengalami kerusakan/bocor dilakukan penanganan menyeluruh dengan membongkar/menggali pipa yg mengalami kerusakan, padahal yg perlu ditangani kerusakan tersebut hanya beberapa inchi. Dengan adanya peralatan penambalan kebocoran tersebut --mirip seperti clamp sadle--, pembongkaran dan penggalian panjang dapat dihindari, dimana perbaikan cukup hanya menggali disekitar lokasi pipa rusak itu saja, sehingga diperoleh effisiensi waktu dan tenaga saat perbaikan jaringan pipa air minum.

Sabtu, Februari 13, 2010

Perlu Kebijakan Khusus Kelola Sumber Air Minum

AIR sumur warga di Kecamatan Jaya Baru, Syiah Kuala, Kuta Alam, Kuta Raja, dan Meuraxa dalam Kota Banda Aceh, belum layak dijadikan bahan baku air minum. Selain berasa payau (lagang), airnya juga mengandung unsur sodium nitrit (NO2) dan amonia (NH3) dalam kadar tinggi (melebihi baku mutu). Diketahuinya kadar nitrit dan amonia yang tinggi di sebagian sumur warga itu, setelah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh melakukan uji sampel air sumur penduduk pada sejumlah kecamatan di Kota Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh. “Hasil pengujian itu perlu segera kita informasikan agar diketahui publik,” kata Kepala Bapedal Aceh, Ir Husaini Samaun.

Ironisnya, di lima kecamatan yang air sumurnya belum layak dikonsumsi itu, jaringan air PDAM yang masuk ke rumah penduduknya justru masih sedikit dibanding empat kecamatan yang lain. Secara medis, bila termakan, terhirup, atau terpapar nitrit maupun amonia bisa menyebabkan manusia keracunan (pening, mual, dan muntah) merusak metabolisme tubuh, bahkan paling radikal bisa menyebabkan kematian, terutama pada bayi. Keadaan yang serupa dengan kelima kecamatan di Banda Aceh itu, sebetulnya juga terjadi di hampir semua pemukiman penduduk pesisir Aceh. Bahkan, di lokasi-lokasi tertentu kualitas airnya lebih buruk dibandingkan dengan kondisi yang ditemukan di Banda Aceh. Demikian juga PDAM-nya, kecuali Kabupaten Bireuen, yang lain semua tak mampu memproduksi air bersih sesuai kualitas dan kuantitas kebutuhan pelanggan.

Di pihak lain, polusi air tanah makin banyak terjadi, musim kemarau dan penghujan yang tidak teratur dan pengelolaan air tanah yang makin buruk menyebabkan sumbur air aman kian berkurang. Inilah yang sangat mengkhawatirkan. Data tentang konsumen air tanah di Aceh memang tidak ada, tapi secara nasional hampir 60 persen rumahtangga menggunakan air minum dari sumur, baik sumur bor/pompa, terlindung, atau tak-terlindung. Juga masih ada sekitar 6 persen rumahtangga memanfaatkan air sungai atau danau untuk sumber airnya. Jika terjadi polusi air atau polusi lainnya yang menyebabkan tidak sehatnya sumber air minum maka bisa dibayangkan kondisi kesehatan masyarakat ke depan.

Pengelolaan air tanah oleh masyarakat juga merupakan salah satu penyebab pencemaran air minum. Mungkin saja masyarakat tahu bahwa sumber air minum harus jauh dari tempat pembuangan tinja, tetapi sebagian besar rumahtangga hanya mempunyai luas tanah yang sempit sehingga persyaratan air minum aman terabaikan. Dengan demikian, kita sependapat bahwa pada akhirnya pengelolaan sumber air minum merupakan tanggung jawab semua pihak, pemerintah dan swasta yang mempunyai sumber modal harus membuat kebijakan yang lebih bersifat massal, sedangkan masyarakat harus menjaga lingkungan minimal di sekitar rumah untuk menyelamatkan sumber air yang aman.(Sumber : SerambiNews)